Senin, 19 November 2012

Rel Kematian Muaro - Pekanbaru (1943 - 1945)

Sewaktu  kecil, ambo pernah melihat satu seri foto-foto almarhum Bapak bersama teman-temannya di suatu lokasi. Beliau berbaju hijau, bercelana pendek, bersepatu bot dengan pistol di pinggang. Teman-teman beliau juga berbaju hijau. Maklumlah, mereka semua tentara.
Backgroundnya bermacam-macam. Ada yang di sungai, ada yang di atas rel, ada yang seperti terowongan atau gua. Ketika ambo tanya fotonya diambil dimana, jawaban yang ambo terima adalah "Logas". Berikutnya justru kakak-kakak ambo yang menambahi bahwa Logas itu adalah tambang emas Jepang dan banyak orang Indonesia dikirim ke sana oleh Jepang untuk kerja paksa menambang emas dan membangun jalan kereta api dan akhirnya tewas disana. Ditutup dengan kabar pertakut, "karena itu di sana angker - banyak hantunya..."
Gambaran itulah yang melekat di benak ambo sejak kecil tentang daerah yang bernama Logas. Karena ambo sendiri sampai sekarang tidak pernah menginjakkan kaki di sana. Tapi cerita sebenarnya menjadi jelas bagi ambo ketika menemukan sketsa berikut di dunia maya.


Sketsa itu adalah sketsa rencana rel kereta api yang menghubungkan antara ujung rel yang telah ada di Muaro (Sijunjung) ke Pekanbaru. Nantinya akan menghubungkan pantai barat dengan pantai timur Sumatera, sebagai bagian dari jaringan kereta api pulau Sumatera oleh Perusahaan Kereta Api Hindia Belanda. (lihat disini). Jalur ini melewati Muaro - Logas - Muara Lembu - Lipat Kain - Taratak Buluh - Tangkerang dan berujung di Pekanbaru.

Rencana itu telah mendekati detail, dengan memuat dimana kamp harus dibuat dalam proses pembangunan rel. Total ada 16 kamp (kamp 4 dan 7 dobel), dengan kamp 1 berada di tepi sungai Siak di Pekanbaru. Logas sendiri berada di kamp 9 --142 Km dari Pekanbaru. Total panjang rel itu sendiri sekitar 220 Km. Kendala utama dalam mewujudkan rel ini adalah kontur daerah yang sangat sulit serta hutan belantara yang masih belum terjamah dengan binatang buas di dalamnya.
Ketika Jepang masuk, rencana ini jatuh ke tangan mereka. Mereka melihat rel ini akan memudahkan mereka untuk bergerak menghindari ancaman sekutu di Samudera Hindia dengan mempercepat akses ke Selat Malaka. Demikian juga akan mempercepat akses bantuan logistik dan balatentara dari semenanjung Malaya ke Sumatera. 
Apa yang sulit bagi Belanda, gampang di mata Jepang. Medan yang sulit diatasi dengan mendatangkan tenaga kerja dari Jawa sejak September 1943. Pada awalnya dengan iming-iming gaji, tapi akhirnya dengan paksaan. Romusha. Masih dianggap belum cukup dengan itu, sejak Mei 1944 didatangkan tawanan perang bangsa Eropa untuk bekerja.
Secara total diperkirakan lebih dari 100.000 orang romusha dan 5000 orang tawanan perang dipekerjakan di jalur rel ini. Dari angka itu 80.000 orang romusha dan 700 orang tawanan perang tewas dan berkubur di sepanjang rel. Itu belum terhitung 1.800 orang tawanan perang yang tenggelam bersama kapal Van Waerwijck and the Junyo Maru yang ditorpedo sekutu sebelum sampai ke Pekanbaru. Dari angka-angka itu lah jalur rel ini mendapatkan namanya "Death Railways" atau "Rel Kematian", sama seperti Rel Kematian lain yang ada di perbatasan Birma - Thailand dan Saketi - Bayah di Banten Selatan.
Buku yang paling detil mengungkap tentang tragedi ini adalah karangan Henk Hovinga yang berjudul  Eindstation Pekan Baru 1944-1945-Dodenspoorweg door het Oerwoud terbitan KITLV Leiden. Di dalam bukunya Hovinga menulis bahwa para pekerja itu telah dipaksa bekerja “dalam suatu neraka hijau, penuh ular, lintah darat dan harimau., lebih buruk lagi miliaran nyamuk malaria, di bawah pengawasan kejam orang-orang Jepang dan pembantu mereka orang Korea”.
Ditambah lagi dengan cara orang Jepang yang menghindari pembuatan terowongan sebagaimana rancangan aslinya dengan cara mendinamit perbukitan. Seringkali tanpa pemberitahuan, sehingga pekerja yang bekerja dibawahnya ikut tertimbun. Rombongan berikutnya bertugas membersihkan reruntuhan hasil dinamit, sekaligus mengumpulkan mayat teman-temannya.
Semuanya dikerjakan dengan otot. Tidak ada peralatan yang memadai. Mulai dari menebang pohon, memotong tebing sampai memasang rel dan membuat jembatan semua dikerjakan dengan tenaga manusia. Ditambah gizi yang buruk, obat-obatan yang kurang serta perlakuan diluar batas kemanusiaan menyebabkan tingginya angka kematian.
Jalur rel ini selesai pada 15 Agustus 1945, tepat ketika Jepang takluk kepada sekutu. Tapi di tengah rimba raya Sumatera, Jepang belum kalah. Para serdadu Jepang masih meneriakkan banzai pada saat merayakan pematokan paku emas tanda selesainya jalur rel Muaro - Pekanbaru. Sementara para romusha dan tawanan hanya boleh menyaksikan upacara dan perayaan itu dari jauh.
Ironisnya, dengan puluhan ribu korban jiwa, rel ini berumur sangat singkat. Kereta api terakhir yang melewatinya adalah pada September 1945 yang membawa tawanan perang dari kamp-kamp kerja di dalam rimba menuju ke Pekanbaru. Jembatan-jembatan yang terbuat dari kayu dengan cepat lapuk dan hanyut oleh amukan sungai. Rel-rel yang tertinggal dengan cepat merimba dan sebagiannya lagi dibuat menjadi pagar oleh masyarakat dan jawatan Kereta Api sendiri untuk jalur Sawahlunto - Padang. 
Ingatan ambo kembali ke masa kecil. Foto almarhum Bapak yang ada di awal tulisan tadi dijepret pada awal tahun 60-an. Disadari atau tidak disadari oleh Bapak, kira-kira 20 tahun sebelumnya, tempat Bapak berdiri itu mungkin saja merupakan lokasi penyiksaan tentara Jepang terhadap seorang Romusha. Atau mungkin di tempat itu seorang romusha mati kelaparan dan dikuburkan. Mengingat puluhan ribu mayat bertebaran sepanjang 220 km rel. Inilah sebenarnya "hantu" Logas yang dibicarakan oleh kakak-kakak ambo dulu ketika kami masih kecil....
Dan hari ini, generasi sekarang di Sumatera Barat dan Riau hanya terheran-heran ketika menemukan sisa-sisa lokomotif di dalam hutan belantara atau ladang penduduk, tanpa tahu dari mana asalnya.....
(kita berkewajiban memberitahu mereka tragedi ini.....)

Sumber : kitlv.nl; pakanbaroe.webs.com; kadaikopi.com; bertuah.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar